Makalah tentang Pengertian, Sejarah dan cabang- cabang dari ulumul hadist pengertian Ulumul hadist ialah “ilmu-ilmu yangg membahas atau berkaitan dengan Hadist Nabi “. Serta Membahas Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ullumul hadist padaa periode Masa Rasullah saw, Sahabat, Tabi’in hingga Sekarang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana telah qita ketahui hadist ialah
segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dariii Nabi
Muhammada SAW yangg dijadaikan ketetapan ataupun hukum dalaam agama Islam.
Hadist dijadaikan sumber dalaam agama Islam selain Al-Qur’an. Ullumul hadist
ialah berarti ilmu pengetahuan yangg mengkaji atau membahas
tentang segala yangg disandarkan kepadaa Nabi saw, baik berupa perkataan,
perbuatan takrir maupun lainnya, mka segala ilmu yangg membicarakn
masalah hadist padaa berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu hadist. Didalaamnya
terdapatt cabang – cabang ilmu hadist.
Sejarah pembukuan dan penulisan hadist dan
ilmu hadist telah melewati serangkaian fase historis yangg sangat panjang mulai
dariii Rasulullah saw, kemudian terus kepadaa sahabat, tabi’in dan saat mencapai
puncaknya padaa abada ketiga hijriah hingga sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
Secara garis besar terdapatt beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Apa yangg dimaksud dengaan
ullumul hadist?
2. Bagaimana sejarah dan
perkembangan ullumul hadist?
3. Apa saja cabang – cabang dariii
ullumul hadist?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan mkalah ini ialah agar para pembaca sekalian mengetahui apa
pengertian ullumul hadist dariii sisi riwayah dan dirayah, dan juga bagaimana
sejarah dan perkembangan ullumul hadist dariii masa Rasulullah saw. sampai
sekarang. Selain itu qita juga bisa mengetahui apa saja dariii cabang-cabang dariii
ullumul hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pegertian Ullumul Hadist
Ullumul Hadist ialah istilah Ilmu Hadist di dalaam tradaisi
Ulama` Hadist. Dalaam bahasa Arabnya yaitu `Ulum al Hadist. `Ulum al
Hadist terdiri atas dua kata, yaitu `Ulum dan al Hadist. Kata
`Ulum dalaam bahasa Arab ialah bentuk jamak dariii `Ilm, jadai
berarti “ilmu-ilmu”, sedangkan al Hadist di kalangan Ulama` Hadist
berarti “segala sesuatu yangg di sandarkan kepadaa Nabi SAW dariii perkataan,
perbuatan, taqrir, atau sifat.” Dengaan demikian `Ulum Al Hadist
mengandung pengertian “ilmu-ilmu yangg membahas atau berkaitan dengaan Hadist
Nabi “.
Secara umum para Ulama` Hadais membagi Ilmu
Hadist kepadaa dua bagian, yaitu Ilmu Hadist Riwayah (`Ilm al Hadist Riwayah)
dan Ilmu Hadist Dirayah (`Ilm al Hadist Dirayah):
1. Ilmu Hadist Riwayah
a. Pengertian Ilmu Hadist
Riwayah
Kata riwayah, artinya periwayatan atau cerita, mka ilmu hadist riwayah, artinya
ilmu hadist berupa periwayatan. Secara terminologis, yangg dimaksud dengaan
ilmu hadist riwayah ialah :
“ilmu yangg khusus berhubungan dengaan riwayah ialah ilmu yangg meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw, dan perbuatannya dan penguraian lafalnya.
Definisi diatas mengacu kepadaa rumusan hadist secara luas, sedangkan definisi yangg
mengacu kepadaa rumusan hadist yangg terbatas atau sempit, mka definisinya
ialah ilmu yangg menukilkan segala yangg disandarkan kepadaa Nabi saw semata.
b. Objek dan
Signifikasinya
Yangg menjadai objek ilmu hadist ini ialah
membicarakn bagaimana cara menerima, menyampaikan kepadaa orang lain,
memindahkan men-tadawin-kan hadist. Dalaam menyampaikan dan membukakn
hadist hanya disebutkan apa adanya, baik yangg berkaitan dengaan matan
maupun sanada-nya. Ilmu ini tidak membicarakn hadist dariii sudut
kualitasnya, seperti tentang (keadailan) sanada, syadaz (kejanggalan),
dan ‘illat (kecatatan) matan.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadist ini
ialah untukk menghindariii adanya penukilan yangg salah. Dariii yangg beredar padaa
umat islam bisa jadai bukan hanya hadist, melainkan juga ada berita-berita
lain, yangg sumbernya bukan dariii Nabi atau bahkan sumbernya tidak jelas sama
sekali.
2. Ilmu Hadist Dirayah
a. Pengertian Ilmu Hadist
Dirayah
Istilah ilmu al-hadist atau disebut
juga ilmu dirayah al-hadist menurut as-Suyuthi, muncul setelah masa
al-khathib al-Bagdadai, yaitu masa Ibn al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengaan
sebutan ilmu ushul al-hadist, ulama al-hadist, musthahalah al-hadist,
dan qawa’id at-tahdis. (As-Suyuthi). Bahkan ada yangg menyebutnya dengaan
‘ilmu musthahalah ahli a’tsar, seperti dikatakn oleh Ibn Hajar
al-Asqalani.
Diantara semua istilah diatas, padaa dasarnya
tidak ada perbedaan makna sehingga tidak menimbulkan perbedaan dalaam materi
pembahasannya, namun yangg lebih mencakup dariii istilah tersebut ialah istilah
‘ulum al-hadist. Istilah ini, meskipun memberikan kesan masuknya ilmu hadist
riwayah kedalaamnya, tetapi dalaam pamkaian sehari-hari tidak demikian.
Dalaam bahasa Indonesia, istilah yangg sudah
baku ialah “ilmu hadist”. Istilah ini, meskipun dengaan memkai sebutan tunggal
, akn tetapi (dimaksudkan) di dalaamnya mencakup semua materi yangg terkait.
Tentu saja ilmu hadist riwayah tidak termasuk kedalaamnya, karena
pembahasan tentang hadist (sebagai materi dariii ilmu hadist riwayah)
sudah mempunyai sebutan tersendiri secara terpisah, yangg dipisahkan dariii
materi ilmu hadist.
Secara terminologi, yangg dimaksud dengaan
ilmu hadist dirayah sebagaimana yangg didefinisikan oleh Muhammada
Mahfuzh at-Tirmisi ialah :
Undang-undang atau kaidah-kaidah untukk mengetahui sanada dan matan.
Yangg terkandung dalaam pengertian diatas ialah segala ketentuan, baik
berkaitan dengaan kualitas kesahihannya (sahih, hasan dan dha’if-nya
hadist), sandarannya (marfu’, mauquf, dan maqthu’-nya), maupun
sifat-sifat dan meriwayatkannya (kafiyat at-tahmul wa al-ada’) maupun
sifat-sifat dan mendefinisikannya dengaan :
Haqiqat ar-riwayah, artinya penukilan hadist dan penyandarannya kepadaa
sumber hadist atau sumber berita itu sendiri, yaitu Nabi saw. Syarat-syarat
periwayatan ialah penerimaan perawi terhadap hadist yangg akn diriwayatkan dengaan
bermacam-macam cara penerimaan qira’ah (pembaca), al-wasiyah (berwasiat),
al-ijazah (pemberian izin dan perawi).
b. Objek dan signifikasinya
Objek ilmu darayah ialah sanada rawi
dan matan/marwi. Dariii sudut diterima (maqbul) atau ditolaknya (mardud-nya)
suatu hadist. Dariii aspek sanada-nya diteliti tentang keadailan dan
kecatatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan hadistnya, serta ittishal
as-sanada atau bersambung tidaknya antara sanada-sanada hadist
tersebut.
Pembahasan tentang sanada meliputi :
1. Segi
persambungan sanada (ittishal as sanada), yaitu bahwa suatu rangkaian sanada
hadist haruslah bersambung, mulai dariii sahabat sampai kepadaa periwayat
terakhir yangg menuliskan atau membukukan hadist tersebut. Oleh karenanya,
tidak dibenarkan suatu rangkaian sanada tersebut yangg terputus,
tersembunyi, atau tidak diketahui identitasnya atau tersamar
2. Segi
kepercayaan sanada (tsiqat as Sanada), yaitu bahwa setiap perawi yangg
terdapatt didalaam sanada hadist harus memiliki sifat adail dan dhabit
(kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi hadistnya)
3. Segi
keselamatannya dariii kejanggalan (syadaz)
4. Keselamatan dariii
cacat (illat), dan
5. Tinggi dan
rendahnya martabat suatu sanada.
Sedangkan pembahasan mengenai matan
ialah meliputi segala ke-shahih-an atau ke-dhabitan-nya. Hal
tersebut dapatt dilihat melalui kesejalanannya dengaan makna dan tujuan yangg
terkandung didalaam Alqur’an, atau selamatnya dariii :
1. Kejanggalan
redaksi (rakakat al-faz)
2. Dariii cacat
atau kejanggalan padaa maknanya (fasada al-makna), karena bertentangan dengaan
akal dan pancaindera, atau dengaan kandungan dan makna alquran, atau dengaan
fakta sejarah, dan
3. Dariii
kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yangg tidak bisa dipahami
berdasarkan maknanya yangg umum dikenal.
Tujuan dan ugrensi ilmu hadist dirayah ialah
untukk mengetahui dan menetapkan hadist-hadist yangg maqbul (yangg dapatt
diterima sebagai dalil atau untukk diamalkan) dan yangg mardud (yangg
ditolak).
Dengaan mempelajari ilmu hadist dirayah ini,
banyak kegunaan yangg diperoleh, antara lain :
1. Dapatt
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadist dan ilmu hadist dariii masa ke
masa sejak masa Rasulullah saw, sampai dengaan masa sekarang
2. Dapatt
mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yangg telah mereka lakukan dalaam
mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadist
3. Dapatt
mengetahui kaidah-kaidah yangg dipergunakn oleh para ulama dalaam
mengklasifikasikan hadist lebih lanjut, dan
4. Dapatt
mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria hadist sebagai pedoman dalaam
menetapkan suatu hukum syara.
2.2 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist
1. Hadist Padaa Masa Rasulullah SAW
Ada suatu keistimewaan padaa masa ini yaitu
umat Islam dapatt secara langsung memperoleh hadist dariii Rasulullah saw,
sebagai sumber hadist. Antara Rasulullah dengaan mereka tidak ada jarak atau
hijab yangg menghambat dan mempersulit pertemuannya.
Kedudukan nabi menjadaikan semua perkataan,
perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak
menyia-nyiakn kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadaanya
tentang segala sesuatu yangg tidak diketahuinya baik dalaam urusan dunia maupun
urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri
dimaksudkan agar keberagamannya dapatt mencapai tingkat kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah saw. dalaam
menyampaikan hadist kepadaa para sahabat, yaitu:
1. Melalui para jema’ah padaa
pusat pembinaannya yangg disebut dengaan majelis al-‘ ilmi.
2. Dalaam banyak kesempatan
Rasulullah saw juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, yangg
kemudian disampaikannya kepadaa orang lain.
3. Melalui ceramah atau
pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.
2. Hadist Padaa Masa Sahabat
Periode sahabat berlangsung seqitar tahun 11 H
sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengaan masa sahabat besar dan juga terkenal
dengaan sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minarriwayah ( زمن التثبت والاقلال من الرواية )” yaitu masa pengokohan
dan penyederhananaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadist belum dianggap
suatu hal yangg mendesak untukk dilaksanakn, hadist masih tetap di hafal dan
upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akn mengganggu perhatian
mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran keterbatsan tenaga dan sarana.
Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah
pertama mengeluarkan kebijakn tidak mengizinkan sahabat menulis hadist, bahkan
beliau memerintahkan untukk membakar 500 hadist yangg telah di catatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran
perhatian para sahabat terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu
niat Umar bin Khattab untukk membuat program penulisan hadist di batalkan, apalagi
mayoritas Sahabat tidak sepakat dengaan usaha tersebut.
Sekalipun demikian penulisan hadist tetap saja
di lakukan oleh sahabat, diantaranya ialah Ibnu mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan
Aisyah, dan yangg lainnya. Karakter yangg menonjol dariii periode ini ialah
kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengaan
cara memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalaam satu mushaf, sehingga setelah
terkumpul barulah mereka menulis hadist.
3. Hadist Padaa Masa Tabi’in
Padaa masa ini tidak jauh berbeda dengaan masa
sebelumnya, hanya saja persoalan yangg dihadapi agak berbeda, sebab padaa masa
ini al-Qur’an sudah terkumpul dalaam satu mushaf, sedang para riwayat hadist dariii
kalangan sahabat sudah tersebar diberbagai daerah, apalagi setelah pemerintahan
dipegang oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh
‘Umar bin Abdul ‘Aziz terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadist secara resmi.Yangg
melatarbelakngi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untukk mengumpulkan dan
mengkodifikasi hadist padaa waktu itu antara lain:
1. Banyak penghafal hadist yangg meninggal
dunia, baik karena sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.
2. al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalaam
masyarakat dan telah dikumpulkan menjadai mushaf, karenanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi hadist bercampur dengaan al-Qur’an.
3. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya
melampaui jazirah Arab, mka hadist sangat diperlukan sebagai penjelas
al-Qur’an.
Oleh karena itu, mka masa ini dikenal dengaan
sebutan masa pembukuan (‘ashr al-tadawin / عصر التدوين ) sehingga padaa abada 2
H ini, tersusunlah qitab-qitab koleksi hadist.
Diantara tokoh-tokoh tabi’in yangg termashur dalaam
bidang riwayat antara lain Sa’id, Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn
Habib.
4. Hadist Padaa Abada Ke- 3
Masa ini dikenal dengaan sebutan “masa
penyaringan pensyarahan hadist”, terutama padaa masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyya, mulai dariii khalifah Al-Ma’mum sampai Muqtadair (201-300 H).
Pensyarahan dan penyaringan hadist dilakukan karena masa sebelumnya belum
berhasil melakukan pemisahan beberapa hadist dha’if dengaan hadist shahih,
bahkan terkesan hadist maudlu’ bercampur dengaan hadist shahih.
Ulama yangg pertama kali melakukan penyaringan
hadist-hadist shahih ialah Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh
Imam Bukhari, dan diteruskan oleh muridnya Imam Muslim. Padaa masa ini, umat
islam telah berhasil melakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memisahkan
hadist nabi dariii yangg bukan hadist (fatwa sahabat dan tabi’in)
2. mengadakn
penyaringan secara ketat terhadap apa saja yangg dikatakn hadist nabi dengaan
melakukan penelitian padaa matada dan mata rantai sanadanya.
5. Hadist Padaa Abada Ke- 4
Padaa masa ini dilakukan sistem penyusunan
qitab-qitab koleksi hadist yangg lebih mengarah padaa upaya pengembangan dalaam
berbagai variasi pentadawinan terhadap qitab-qitab yangg sudah ada secara
sistematis, misalnya pola-pola:
1. Menghimpun hadist-hadist yangg
terdapatt padaa qitab shahihaini (qitab shahih Bukhari dan shahih
Muslim),
2. Mengumpulkan hadist
menurut bidangnya, seperti yangg memuat hadist-hadist tentang hukum
3. Kolektor menyusun qitab athraf,
artinya pengarang hanya menyebutkan permulaan dariii tiap-tiap hadist yangg dapatt
menunjukkan kelanjutannya.
6. Hadist Padaa Abada Ke- 5 sampai Sekarang
Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa
Barat, penyampaian ajaran Nabi tidak dapatt dilakukan secara terang-terangan,
akibatnya kegiatan penelitian terhadap para perawi hadist terhenti.
Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yangg
berani berkunjung ke berbagai daerah untukk mendiktekan hadist, dengaan cara
duduk didalaam masjid setiap hari jum’at, lalu menguraikan hadist tentang nilai
dan kandungan sanadanya kepadaa para jama’ah dan jama’ah mencatatnya, seperti yangg
dilakukan oleh Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 858 H),
al-Syakhawi (murid Ibnu Hajar).
2.3 Cabang- Cabang Ilmu Hadist
Dariii ilmu hadist Riwayah dan Dirayah ini, padaa
perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu haidts lainnya, seperti
ilmu rijal al-hadist, ilmu al-jahrwa al-ta’dil, ilmu tarikh
al-ruwah, ilmu ‘ilal al-hadist, ilmu al-nasikh wa al-mansukh, ilmu
asbab wurud al-hadist, dan ilmu mukhtalif al-hadist. Secara
singkat cabang-cabang diatas akn diuraikan berikut ini
a. Ilmu Rijal al-Hadist (علم رجال الحديث)
Ilmu rijal al-hadist ialah, ilmu untukk
mengetahui para perawi hadist dalaam kapasitasnya sebagai perawi hadist.
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalaam lapangan
ilmu hadist. Hal ini karena, sebagimana diketahui, bahwa objek kajian hadist padaa
dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanada. Ilmu Rijal hadist ini lahir
bersama-sama dengaan periwayatan hadist dalaam islam dan mengambil porsi khusus
untukk mempelajari persoalan-persoalan diseqitar sanada.
Diantara qitab yangg paling tua yangg
menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat demi thabaqat ialah karya
Muhammada ibn Sa’ada, yaitu thabaqat al-kubra dan karya Khalifah ibn
‘Ashfari, yaitu thabaqat al-Ruwwah, dan lain-lain.
Apabila dilihat lebih lanjut,ditemukan adanya
dua cabang ilmu hadist lainnya yangg di cakup oleh ilmu ini; ilmu al-jahr wa
at-ta’dil dan ilmu tarikh al-ruwah.
b. Ilmu al-jarh wa al-Ta’dil (علم الجرح والتعديل)
Ilmu al-jarh, yangg secara bahasa berarti ‘luka, cela, atau cacat’, ialah ilmu
pengetahuan yangg mempelajari kecacatan para perawi, seperti padaa keadailan
dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan al-jarh dengaan :
“kecacatan padaa perawi hadist disebabkan
oleh sesuatu yangg dapatt merusak keadailan dan kedhabitan perawi”.
Sedang al-Ta’dil, secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakn),
menurut istilah berarti “lawan dariii al-jarh, yaitu pembersihan atau
pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adail atau dhabit”.
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalaam satu
definisi, yaitu ilmu yangg membahas tentang para perawi hadist dariii segi yangg
dapatt menunjukkan keadaan mereka, baik yangg dapatt mencacatkan dan
membersihkan mereka, dengaan ungkapan atau lafaz tertentu.
Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakn untukk menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang rawi “dijahr” oleh para ahli sebagai rawi yangg cacat, mka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila dipuji mka hadistnya bisa
diterima selama syarat-syarat lain bisa dipenuhi.
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yangg
dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalaam lingkup perbuatan : bid’ah, yakni
melakukan tindakn tercela atau diluar ketentuan syariah, mukhalafah,
yakni berbeda dengaan periwayatan dariii rawi yangg lebih tsiqqah: ghalath,
yakni banyak melakukan kekeliruan dalaam meriwayatkan hadist : jahalatal-hal,
yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap, dan da’wat
al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanada)-nya tidak bersambung.
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya secara rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
a. Popularitas para
perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yangg
adail, atau rawi yangg mempunyai ‘aib. Bagi yangg sudah terkenal di kalangan
ahli ilmu tentang keadailannya, mka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan
keadailannya, begitu juga dengaan perawi yangg terkenal dengaan kefasikan atau
dustanya mka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau
pen-tajrih-an dariii rawi lain yangg adail. Bila seorang rawi yangg
adail menta’tilkan seorang rawi yangg lain yangg belum dikenal keadailannya,
mka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adail dan
periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengaan rawi yangg di-tarjih. Bila
seorang rawi yangg adail telah mentarjihnya mka periwayatannya menjadai
tidak bisa diterima.
Sementara orang yangg melakukan ta’dil dan
tarjih harus memenuhi syarat, sebagai berikut : berilmu pengetahuan, taqwa, wara’,
jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup
ilmu jahr dan ta’dil ini.
c. Ilmu Tarikh ar-Ruwah (علم تاريخ الرواة)
Ilmu tarikh ar-ruwah, ialah ilmu untukk mengetahui para perawi hadist yangg
berkaitan dengaan usaha periwayatan mereka terhadap hadist.
Dengaan ilmu ini akn diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti
kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dariii
gurunya, siapa orang yangg meriwayatkan hadist dariiinya, tempat tinggal
mereka, tempat mereka mengadakn lawatan, dan lain-lain. Sebagai bagian dariii
ilmu rijal hadist, ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalaam padaa
sudut kesejahteraan dariii orang-orang yangg terlibat dalaam periwayatan.
Hubunagan dengaan ilmu thabaqat al-ruwah, diantara para ulama terdapatt
perbedaan pendapatt. Ada ulama tang membedaknnya secara khusus, tetapi ada juga
yangg mempersamaknnya. Menurut Al-Suyuti, antara ilmu thabaqat al-ruwah dengaan
ilmu tarikh al-ruwah ialah sama saja dengaan antara umum dan khusus, keduanya
bersatu dalaam pengertian yangg berkaitan dengaan para perawi, tetapi ilmu
tarikh al-ruwah menyendiri dalaam hubungannya dengaan kejadaian-kejadaian yangg
baru. Menurut al-sakhawi, bahwa ulama mutaakhirin membedakn antara kedua
disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa ilmu tarikh al-ruwah, melalui
eksistensinya memperhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya
memperhatikan kelahiran dan wafat mereka.
Jadai ilmu tarikh al-ruwah ini merupakn senjata yangg ampuh untukk
mengetahui keadailan rawi yangg sebenarnya, terutama untukk membongkar
kebohongan para perawi. Sebagai contoh : ‘Ufair ibn Ma’dan Al-Killa’iy
bercerita: “Umar ibn Musa pernah datang kepadaaku, lalu kutemui dia dimasjid
dan seraya ia berkata: “telah bercerita kepadaa kami guru kami yangg
salih”. Ketika ia telah banyak bercerita, lalu ku potong ceritanya, “siapa yangg
kamu maksud guru kami yangg saleh itu? Sebutlah namanya agar kami
mengetahuinya!” Jawabnya: “yaitu Khalid ibn Ma’dan” “tahun berapa kami bertemu dengaan
dia?” tanyaku. Aku bertemu tahun 108 H” jawabnya.“ Dimana kamu bertemu?”
tanyaku lagi. “Aku bertemu dengaan dia padaa waktu perang Armenia” jawabnya.
Aku membentak : “Takutlah kepadaa Allah hai saudara jangan kau berdusta.
Bukankah Khalid ibn Ma’dan itu wafat tahun 108 H? Sedangkan kamu mengatakn
bahwa kamu bertemu dengaan dia empat athun sesudah dia meninggal. Dan dia jagu
tidak pernah mengikuti perang Armenia sama sekali. Dia hanya ikut perang romawi
saja.
Jadai mengetahui tanggal lahir dan wafatnya juga sangat penting untukk menolak
pengakuan seorang rawi yangg mengaku pernah bertemu dengaannya.
d. Ilmu ‘Ilal al-Hadist (علم علل ا لحد يت)
Kata ‘ilal ialah bentuk jama’ dariii kata “al-‘illah”, yangg
menurut bahasa berarti “al-maradah” (penyakit atau sakit). Menurut
muhadadisin, istilah ‘illah berarti sebab yangg tersembunyi atau
samar-samar yangg berakibat tercemarnya hadist. Akn tetapi yangg kelihatan
ialah kebalikannya yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
Adapun yangg dimaksud dengaan ilmu ‘ilal hadist, menurut muhadadisin
ialah ilmu yangg membahas hadist-hadist yangg berlawanan yangg tidak memugkinkan
untukk dipertemukan, karena materi (yangg berlawanan) yangg padaa akhirnya
terjadailah saling menghapus, dengaan ketetapan bahwa yangg datang terdahulu
disebut mansukh dan yangg datang kemudian dinamakn nasikh.
Mengetahui ilmu ini sangat penting dalaam ilmu hadist ini. Bahkan menurut
Al-Zuhry, ilmu inilah yangg paling banyak menguras energy para ulama dah
fuqaha. Hal ini karena tingkat kesulitannya yangg tinggi, terutama dalaam
melakukan istinbat hukumnya dariii nas yangg samar-samar.
Untukk mengetahui nasakh dan mansukh ini bisa melalui beberapa
cara:
1. Dengaan
penjelasan dariii nash atau syari’ sendiri, yangg dalaam hal ini ialah Rasul
saw.
2. Dengaan
penjelasan dariii para sahabat.
3. Dengaan
mengetahui tarikh keluarnya hadist serta sabab wurud hadist. Dengaan demikian
akn diketahui mana yangg datang lebih dulu dan mana yangg datang kemudian.
e. Ilmu Asbab Wurud al-Hadist (علم ا سبا ب ا لورود)
Kata asbab ialah jama’ dariii sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengaan “al-habl”
(tali), saluran, yangg artinya dijelaskan sebagai : “segala yangg
menghubungkan satu benda dengaan benda lainnya”.
Menurut istilah ialah segala sesuatu yangg mengantarkan padaa tujuan. Ada juga yangg
mendefinisikan dengaan : “suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
adanya pengaruh apapun dalaam hukum itu”.
Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir
seperti air yangg memancar atau air yangg mengalir.
Dalaam pengertian yangg lebih luas, Al-Suyuthi merumuskan pengertian asbab
wurud al-hadist dengaan : “sesuatu yangg membatasi arti suatu hadist, baik
berkaitan dengaan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyada, dinasakhkan dan
seterusnya” atau “ suatu arti yangg dimaksud oleh sebuah hadist saat
kemunculannya”.
Dariii uraian pengertian tersebut, asbab wurud al-hadist dapatt diberi
pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan yangg membicarakn tentang sebab-sebab
Nabi Muhammada saw menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.”
Seperti sabda Rasul saw tentang kesucian air laut dan apa yangg ada didalaamnya.
Ia bersabda : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadist ini
dituturkan oleh Rasul saw saat berada ditengah lautan dan ada salah seorang
sahabat yangg merasa kesulitan berwudlu karena tidak mendapattkan air (tawar).
Contoh lain ialah hadist tentang niat, hadist ini di tuturkan berkenaan dengaan
peristiwa hijrahnya Rasul saw ke Madainah. Salah seorang yangg ikut hijrah
karena di dorong ingin mengawini wanita yangg bernama Ummu Qais.
Urgensi asbab al-wurud terhadap hadist, sebagai salah satu jalan untukk
memehami kandungan hadist, sama halnya dengaan urgensi asbab nuzul al-quran terhadap
al-quran. Ini terlihat dariii beberapa faedahnya, antara lain, dapatt
mentakhsis arti yangg umum, membatasi arti yangg mutlak, menunjukkan perincian
terhadap yangg mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu
hukum. Mka dengaan memahami apa yangg di maksud atau yangg di kandung oleh
suatu hadist. Namun demikian, tidak semua hadist mempunyai asbab wurud,
seperti halnya tidak semua ayat al-quran memiliki asbab nuzulnya.
f. Ilmu Garib al-Hadist (علم غر يب ا لحد يث)
Menurut Ibnu Al-Shalah, yangg dimaksud dengaan gharib al-hadist ialah ungkapan dariii
lafadah-lafadah yangg sulit dan rumit untukk dipahami yangg terdapatt dalaam
matan hadist karena (lafadah tersebut) jarang digunakn.
Rasul ialah sefasih-fasihnya orang Arab yangg diutus oleh Allah SWT untukk menghadapi
kaumnya yangg terdiri dariii bernacam-macam suku dan kabilah. Sehingga rasul
ketika berhadapan dengaan kabilah tertentu akn menggunakn bahasa dariii kaum yangg
dihadapinya. Kemudian padaa perkembangan selanjutnya, banyak bangsa-bangsa
non-Arab memluk Islam sehingga banyak juga orang-orang yangg jarang memahami
istilah atau lafadah-lafadah teretntu yangg gharib (asing). Oleh karena
itu ilmu ini dimunculkan atas usaha para ulama untukk memudahkan dalaam
memahami hadist-hadist yangg mengandung lafadah-lafadah yangg aharib tersebut.
Memahami makna kosa kata (mufradat) matan hadist merupakn langkah
pertama dalaam memahami suatu hadist dan untukk istinbath hukum. Oleh karena
itu, ilmu ini akn banyak menolong untukk menuju ke pemahaman tersebut.
Para muhadadisin ketika menghadapi lafadah-lafadah yangg gharib dan
sulit untukk menjelaskannya, juga menyerahkan kepadaa ahli bahasa (gharib
al-hadist). Mereka juga menghindariii penafsiran yangg didasarkan padaa
purbasangka (perkiraan) semata, karena hal itu diharamkan.
Ada beberapa cara untukk menafsirkan hadist-hadist yangg mengandung lafadah yangg
gharib ini, di antaranya :
a. Dengaan
hadist yangg sanadanya berlainan dengaan matan yangg mengandung lafadah yangg gharib
tersebut.
b. Dengaan
penjelasan dariii para sahabat yangg meriwayatkan hadist atau sahabat lain yangg
tidak meriwayatkannya, tapi paham akn makna gharib tersebut.
c.
Penjelasan dariii rawi selain sahabat.
Padaa perkembangan selanjutnya, para ulama
berusaha memperjelas apa yangg di kandung oleh kata-kata yangg gharib
itu dengaan mensyarahkannya. Bahkan ada yangg berusaha mensyarahkan secara
khusu dariii hadist-hadist yangg terdapatt kata-kata gharib. Di antara
para ulama yangg pertama kali menyusun hadist-hadist yangg gharib, ialah
Abu Ubaidah Ma’mar bin Matsna Al-Taymi Al-Bisri dan Abu Al-Hasan bin Ismail
Al-Mazini Al-Nahawi. Salah satu qitab terbaik yangg ada sekarang ini, ialah
qitab “Nihayah Gharib Al-Hadist”, karya Ibn Al-Atsir.
g. Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif (علم التصحيف والتحريف)
Ilmu at-Tahsif wa Al-Tahrif ialah ilmu pengetahuan yangg berusaha
menerangkan tentang hadist-hadist yangg sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf)
dan bentuknya (muharraf).
Al-hafidz ibn Hajar membagi ilmu ini menjadai dua bagian yaitu ilmu
al-tahrif. Sedangkan Ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua
ilmu ini menjadai satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakn satu di siplin ilmu yangg
bernilai tinggi, yangg dapatt membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffazh).
Hal ini di sebabkan, karena dalaam hafalan para ulama terkadang terjadai
kesalahan bacaan dan pendengaran yangg diterimanya dariii orang Al-Bazr.
h. Ilmu Mukhtalif al-Hadist (علم مختلف الحديث)
Ilmu Mukhtalif Al-Hadist, ialah ilmu yangg membahas hadist-hadist yangg
menurut lahirnya saling berlawanan atau bertentangan, kemudian pertentangan
tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas
hadist-hadist yangg sulit dipahami kandungannya, dengaan menghilangkan
kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dariii pengertian ini dapatt dipahami, bahwa dengaan menguasai ilmu
mukhtalif al-hadist, hadist-hadist yangg tampaknya bertentangan akn dapatt
diatasi dengaan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga kemusykilan yangg
terdapatt dalaam sebuah hadist, akn segera dapatt dihilangkan dan ditemukan
hakikat dariii kandungan hadist tersebut.
Definisi yangg lain menyebutkan sebagai berikut : “ilmu yangg membahas
hadist-hadist yangg menurut lainnya saling bertentangan, karena adanya
kemungkinan dapatt dikompromikan, baik dengaan cara mentaqyid kemutlaknnya,
atau mentakhsis keumumannya, atau dengaan cara membawanya kepadaa beberapa
kejadaian yangg relevan dengaan hadist tersebut, dan lain-lain”.
Sebagian ulama menyamakn istilah ilmu mukhtalif al-hadist dengaan ilmu
musykil al-hadist, ilmu ta’wil al-hadist, ilmu talfiq al-hadist, dan ilmu
ikhtilaf al-hadist. Akn tetapi yangg dimaksudkan oleh istilah-istilah di
atas, artinya sama.
Jadai ilmu ini berusaha untukk mempertemukan (talfiq al-hadist) dua
atau lebih hadist yangg beretentangan maknanya. Adapun cara-cara
mengkompromikan hadist tersebut adakalanya dengaan men-taqyid kemutlakn
hadist, men-takhshish keumumannya, atau adakalanya dengaan memilih
sanada yangg lebih kuat atau yangg lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat
dibutuhkan oleh ulama hadist, ulama fiqh, dan lain-lain.
2.4 Unsur-Unsur Pokok Hadist
1. Sanada
Kata “sanada” menurut bahasa ialah “sandaran”, atau sesuatu yangg qita jadaikan
sandaran. Dikatakn demikian, karena hadist bersandar kepadaanya. Menurut
istilah, terdapatt perbedaan rumusan pengertian. Al-Badaru bin Jama’ah dan
Al-Thiby mengatakn bahwa sanada ialah berita tentang jalan matan. Ada
juga yangg menyebutkan sanada ialah silsilah para perawi yangg
menukilkan hadist dariii sumbernya yangg pertama.
Yangg berkaitan dengaan istilah sanada terdapatt kata-kata seperti, al-isnada,
al-musnid, dan al-musnada. Kata-kata ini secara terminologis
mempunyai arti yangg cukup luas, sebagaimana yangg dikembangkan oleh para
ulama.
Kata al-isnada berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke
asal), dan mengangkat. Yangg dimaksudkan di sini ialah menyandarkan hadist kepadaa
orang yangg mengataknnya (raf’u hadist ila qa’ilih atau‘azwu
hadist ila qa’ilah). Menurut Al-Thiby, sebenarnya kata al-isnada
dan al-sanada digunakn oleh para ahli hadist dengaan pengertian yangg
sama.
Kata al-musnada mempunyai beberapa arti. Bisa berarti hadist yangg
disandarkan atau diisnadakn oleh seseorang, bisa berarti nama
suatu qitab yangg menghimpun hadist-hadist dengaan sistem penyusunan
berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadist, seperti qitab Musnada
Ahmada, bisa juga berarti nama bagi hadist yangg marfu’ dan muttashil.
2. Matan
Kata “Matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti mairtafa’a min
al-ardhi (tanah yangg meniggi). Sedang menurut istilah ialah suatu kalimat
tempat berakhirnya sanada.
Ada juga yangg menyatakn matan ialah lafaz-lafiz hadist yangg di dalaamnya
mengandung makna-makna tertentu. Ada juga yangg menyatakn lebih simple lagi, yangg
menyebutkan bahwa matan ialah ujung sanada (gayah as-sanada).
Dariii pengertian di atas, menunjukkan bahwa yangg dimaksud dengaan matan,
ialah materi atau lafaz hadist itu sendiri.
3. Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yangg meriwayatkan atau
memberitakn hadist (naqil al-hadist).
Sebenarnya antara sanada dan rawi itu merupakn dua istilah yangg
tidak dapatt dipisahkan. Sanada-sanada hadats padaa tiap-tiap
tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yangg dimaksud dengaan rawi ialah orang yangg
meriwayatkan dan memindahkan hadist. Akn tetapi yangg membedakn antara rawi dan
sanada, ialah terletak padaa pembukuan atau pentadawinan hadist. Orang yangg
menerima hadist dan kemudian menghimpunnya dalaam suatu qitab tadawin,
disebut dengaan perawi. Dengaan demikian, perawi dapatt disebut mudawwin
(orang yangg membukukan dan menghimpun hadist).
BAB II
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ilmu Hadist dalaam bahasa Arabnya yaitu `Ulum
al Hadist. `Ulum al Hadist terdiri atas dua kata, yaitu `Ulum dan
al Hadist. Kata `Ulum dalaam bahasa Arab ialah bentuk jamak dariii
`Ilm, jadai berarti “ilmu-ilmu”, sedangkan al Hadist di kalangan
Ulama` Hadist berarti “segala sesuatu yangg di sandarkan kepadaa Nabi SAW dariii
perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.” Dengaan demikian `Ulum Al Hadist
mengandung pengertian “ilmu-ilmu yangg membahas atau berkaitan dengaan Hadist
Nabi “.
Para Ulama` Hadais membagi Ilmu Hadist kepadaa
dua bagian, yaitu Ilmu Hadist Riwayah (`Ilm al Hadist Riwayah) dan Ilmu
Hadist Dirayah (`Ilm al Hadist Dirayah). Hadist Riwayah ialah
ilmu yangg mempelajari hadist-hadist yangg disandarkan kepadaa Nabi saw baik
perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya. Sedangkan
Hadist Dirayah ialah Ilmu yangg membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar,
peraturan-peraturan yangg dengaannya diketahui perbedaan antara hadist yangg
shahih yangg disandarkan kepadaa Rasulullah saw dan hadist yangg diragukan
penyandaran kepadaanya.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ullumul
hadist terbagi beberapa periode :
1. Hadist Padaa Masa
Rasullah saw
2. Hadist Padaa Masa Sahabat
3. Hadist Padaa Masa Tabi’in
4. Hadist Padaa Abada Ke- 3
5. Hadist Padaa Abada Ke- 4
6. Hadist Padaa Abada Ke- 5
hingga Sekarang
Cabang-cabang “ulum al-hadist” antara lain:
Ilmu Rijal Al-Hadist , ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat, ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil,‘Ilmu
Asbab al-Wurud, ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadist, ‘Ilmu Gharib al-Hadist, ‘Ilmu Mukhtalif
al-Hadist, ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif
Sekian dariiiii kami mengenai Pengertian, Sejarah dan cabang- cabang dari ulumul hadist semoga bisa bermanfaat untok anda para kaula muda mudi yan g haus akan pengetahuan.