Makalah Apa Perbedaan mahkum fih dan mahkum alaih? ,Jelaskan Pengertian Mahkum Fih ialah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yangg berhubungan dengaan hukum syar'i, sedangkan Mahkum Alaih ialah seseorang yangg dikenai khitab allah ta’ala, yangg disebutkan dengaan mukallaf. Sebutkan Syarat mahkum fih dan mahkum alaih, Jelaskan Contoh dan Korelasi antara hakim dengaan mahkum fih dan mahkum alaih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakim
Di antara masalah yangg
sangat penting yangg harus dijelaskan dalaam kajian syari'at Islam, ialah
mengetahui siapa yangg berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat
Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa
pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yangg berkaitan dengaannya. Yangg
dimaksud dengaan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan),
tetapi Al Hakim di sini ialah siapa yangg berhak mengeluarkan hukum atas
perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua
pengertian[1][1] :
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا“Pembuat, yangg menetapkan, yangg memunculkan dan sumber hukum”.الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا“Yangg menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.
Pengertian hukum menurut ulama ushul ialah Firman Allah yangg
berhubungan dengaan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim ialah
Allah. Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim
ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yangg sah melainkan darii
Allah, karena hukum menurut mereka ialah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yangg
berhubungan dengaan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun
hukum wadli (sebab, syarat, dan mani’).[2][2] Al Qur’an telah mengisyaratkan
hal ini dengaan firman Allah:
Artinya : Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yangg nyata (al-Qur’an ) darii Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untukk menurunkan adzab) yanggkamu tuntut untukk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yangg terbaik. (QS.Al-An’am: 57)
Darii sini jelas pula, bahwa yangg memiliki
wewenang menetapkan dan membuat hukum ialah Allah SWT. Sedangkan yangg
memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yangg
menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.[3][3] Mereka ialah para
rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai
kepada manusia, maka disini tidak ada perbedaan pendapatt bahwa yangg menjadi
al-hakim terhadap perbuatan mereka ialah Allah SWT. Yangg menjadi perselisihan
ialah tentang siapakah yangg menjadi al-hakim terhadap perbuatan mukallaf
sebelum rasul diutus. Dengaan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana
kriteria baik buruknya suatu perbuatan.[4][4]
Golongan Mu’tazilah berpendapatt bahwa sebelum diutus,
akal manusia itulah yangg menjadi hakim, karena akal manusia dapatt mengetahui
baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan
itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik darii perbuatan itu bila mengandung
keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.[5][5]
Golongan Asy’ariyah berpendapatt bahwa sebelum
diutusnya rasul dan seruannya sampai kepada seseorang atau komunitas, seluruh
perbuatan mukallaf tidak diberi hukum. Artinya pada perbuatan itu tidak berlaku
sanksi atau pahala. Berbuat baik tidak ada pahala dan berbuat jahat tidak ada
sanksi padanya. Baik menurut golongan ini ialah perbuatan yangg mukallaf
diperintahkan untukk melaksanakannya oleh syari’ dan perbuatan buruk ialah yangg
dilarang melakukannya oleh syari’. Dengaan lain ungkapan penentuan baik buruk
sebuah perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT), bukan akal manusia.
Kekuasaan kehakiman yangg diberikan Allah SWT kepada
Rasulullah SAW juga dapatt kita lihat dengaan jelas dalaam al-Qur’an pada surah
An-Nisa ayat 105 yangg
Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengaan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengaan apa yangg telah diwahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi (orang yangg tidak bersalah) karena membela orang-orang berkhianat.
Darii arti ayat
di atas jelas diutusnya Rasul oleh Allah Swt di samping sebagai Kepala Negara,
juga sebagai pengendali kekuasaan kehakiman (Hakim) yangg memutus perkara yangg
timbul dalaam masyarakat. Nabi Muhammad Saw sebagai Hakim sedangkan pewaris
para Nabi ialah ulama, maka ulama itu ialah kepercayaan para Rasul, oleh karena
itu Hakim dalaam kapasitasnya sebagai pengendali keadilan dan kebenaran ialah
ahli waris para Rasul. Sedangkan ahli waris dan kepercayaan para Rasul itu
ialah ulama, dengaan demikian tidak dapatt disangkal lagi bahwa Hakim itu ialah
ulama.
B. Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa yangg dimaksud dengaan المحكم فيه ialah
objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yangg berhubungan dengaan hukum syar'i, yangg
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih
suatu pekerjaan, dan yangg bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukshah,
sah, serta batal.[6][6]
Misalnya firman Allah:
يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْ ابَالْعُقُوْجِArtinya :"hai orang-orang yangg beriman, sempurnakanlah janji."
Dalaam firman Allah tersebut yangg dimaksud dengaan
mahkum fih ialah menyempurnakan janji sebab bertalian dengaan ijab, maka hukumnya
ialah wajib :
Syarat Sahnya tuntunan dengaan perbuatan disyaratkan dengaan adanya 3 syarat :
1. Perbuatan itu
benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapatt mengerjakan tuntutan
itu sesuai yangg diperintahkan. Misalnya, firman Allah SWT :
اَقِيْمُوْا الصَّلوةَArtinya : "Dirikanlah shalat"
Dalaam nash Al-Qur'an belum dijelaskan
rukun-rukun
shalat,
syarat-syaratnya, dan cara-cara menunaikannya. Sebab
nash
Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an
tersebut :
صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىArtinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob yangg global
sebab hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan
mengenai hal itu.[7][7]
2. Tuntutan itu
keluar darii orang yangg punya kuasa menuntut atau darii orang yangg wajib
diikuti hukum-hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu mengeluarkan
undang-undan atas dasar keputusan majelis kabinet dan dengaan persetujuan
parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui bahwa undang-undang itu keluar darii
orang yangg punya kekuasaan membuat hukum sehingga mereka akan berupaya
melaksanakannya.
3. Perbuatan
yangg dituntut ialah perbuatan yangg
mungkin
(bisa dilakukan).
Darii syarat ini bercabanglah 2 (dua) hal :
a. Menurut
syara' tidak sah membebani hal yangg mustahil (yangg tidak mungkin bisa
dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yangg berlawanan. Contoh : tidur
dan bangun di waktu yangg sama.
Pendapatt ulama ushuliyah :
الشخص الواحد فى الوقت الواحد بالشئ الواحد لايئ مر ولا ينهى"Satu orang dalaam satu waktu dengaan satu hal tidak bisa diperintah dan tidak bisa dilarang".[8][8]
b. Menurut
syara' tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau
mencegahnya.
Contoh :لاَتَمُوتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَArtinya :"Maka janganlah kamu mati kecuali dalaam memeluk agama Islam" (Q.S. Al-Baqarah : 132).
Lahirnya ialah membebani mereka sekarang agar
mereka itu ketika mati dalaam keadaan Islam.[9][9]
Dalaam setiap perbuatan yangg dibebankan
manusia pastilah ada kesulitan, karena beban (taklif) itu ialah
menetapkan suatu yangg mengandung kesulitan.
Hanya saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam :
1. Kesulitan yangg
sudah menjadi kebiasaan manusia untukk menanggungnya dan kesulitan itu masih
ada batas-batas kemampuan mereka.
Contoh : manusia mencari rizki dengaan
bercocok tanam, berdagang.
2. Kesulitan yangg
keluar darii pada kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka menanggunya.
Contoh : Bernadzar puasa seumur hidup.Rasulullah SAW bersabda kepada seseoang yangg nadzar hendak berpuasa sambil berdiri menghadap matahari.[10][10]اَتِمَّ صَوْمَكَ وَلاَ تَقُمْ فِى الشَّمْسِArtinya :"Sempurnakanlah puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari."
C. Mahkum alaih
Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yangg
dimaksud dengaan mahkum alaih ( اَلْمَحْكُمْ عَلَيْهِ ) ialah
seseorang yangg dikenai khitab allah ta’ala, yangg disebutkan dengaan mukallaf
(اَلْمُكَلَّفُ ). Secara
etimologi, mukallaf berarti yangg dibebani hukum. Dalaam usul fiqih,istilah
mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalaam subjek). Orang mukallaf ialah orang yangg
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yangg berhubungan dengaan perintah
Allah maupun dengaan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka
ia mendapatt resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[11][11]
Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalaam syara disyaratkan dua syarat :
Pertama : Mukallaf dapatt memahami dalil
taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang-undang yangg
dibebankan darii al-Quran dan as-Sunnah dengaan langsung atau dengaan
perantara. Karena orang yangg tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapatt
mengikuti yangg dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak mengarah kesana.
Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalaam akal, dan dengaan
adanya nash-nash yangg dibebankan kepada orang-orang yangg punya akal itu dapatt
diterima pemahamanya oleh akal mereka. Karena akal itu ialah alat untukk
memahami dan menjangkau.[12][12]
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab
dan tidak dapatt memahami dalil-dalil tuntutan syara darii al-Quran dan
as-Sunnah,maka jalan keluarnya untukk menagtasinya ditempuh melalui beberapa
jalan, yaitu:
- Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalaam beberapa bahasa, atau ke dalaam bahasa mereka.
- Menyeru orang yangg tidak mengetahui bahasa arab untukk mempelajari bahasa arab agar dapatt kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
- Wajib kita mengadakan segolongan darii umat kita untukk mempelajari bahasa asing dengaan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.[13][13]
Dalil kewajiban itu berdasarkan :
اَن يَبْلُغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبِArtinya :”Hendaklah orang yangg hadir menyampaikan kepada yangg tidak hadir diantara kamu.[14][14]
Kedua: Mukallaf ialah orang yangg ahli sesuatu
yangg dibebankan kepadanya. Pengertian ahli menurut bahasa ialah kelayakan atau
layak, (seperti bila) dikatakan :
“fullan ialah ahli
( فلات أهل النظرعلى الوقف
)(layak) memelihara wakaf “, artinya ialah صالح له = “ layak baginya”
Sedangkan menurut ulama usul : ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian yaitu : ahli wajib dan ahli melaksanakan
a. Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)
اَهْلِيَّةُ الوُجُوْبِialah kepantasan seseorang mempunyai hak dan
kewajiban.
Ø Yangg dimaksud dengaan hak ialah
sesuatu yangg harus diterimanya darii orang lain.
Ø Kewajiban ialah sesuatu yangg harus
diberikan kepada orang lain. [15][15]
Jadi ahliyyatul wujub itu ialah kelayakan
seseorang untukk ada padanya dalaam keputusan seseorang untukk menerima
haknya darii orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b. Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
اَهْلِيَّةُ اْلاَدَاءِ
ialah kepantasan seorang mukallaf yangg ucapan dan perbuatannya diperhitungkan
oleh syara’[16][16].
Sekira apabila keluar darii padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ),
maka menurut syara akad atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan
terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau puasa
atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’ bisa
diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf
membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia
dihukum sesuai dengaan pidananya itu dengaan bentuk fisik dan harta.
D. Korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum alaih
1. Korelasi
antara hakim dengaan mahkum fih
Hubungan antara hakim dengaan mahkum fih ialah
bahwa hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih ialah objek yangg
terkena suatu tuntutan hukum darii hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya
mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara substansi
perbuatan dan sandaran berkaitan dengaan hokum syar’i maka yangg menghukumi
ialah hakim.[17][18]
2. Korelasi
antara hakim dengaan mahkum alaih
Hubungan antara hakim dengaan mahkum alaih
ialah bahwa hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih ialah subjek yangg
terkena suatu tuntutan hukum darii hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya
hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila orang mahkum alaih
melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengaan Allah (hakim) langsung atau
berkaitan dengaan sesama mahkum alaih maka yangg menghukumi ialah hakim.[18][19]
BAB III.
KESIMPULAN
Al-Hakim yangg muthlaq hanyalah Allah SWT.
Namun, dengaan adanya manusia maka untukk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus
Rasul untukk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas
itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untukk
menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fih ialah objek hukum yaitu perbuatan
mukallaf yangg berhubungan dengaan hukum syar'i, yangg bersifat tuntutan
mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yangg
bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta halangan.
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yangg
perbuatannya berhubungan dengaan hukum syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
Jilid 1, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000
Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, CV.
Pusaka Setia, Bandung, 2000
Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana
Bhakti Wakaf : Yogyakarta
Karim Syafi'i, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka
Setia, Bandung, 2001
Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1985
Drs. Syamsul Bahri, M. Ag., dkk.,. Metodologi
Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2008
Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus Ilmu
Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah kaidah Ushul
Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010
[3][3] Drs. Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1985, hal. 26
[5][5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996, hal. 150
[17][18] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid 1, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000, hal. 19
[18][19] Drs. Syamsul Bahri, M. Ag., dkk.,. Metodologi
Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2008, hal. 17
Sekian dariiii kami mengenai Pengertian Mahkum Fih dan Mahkum Alaih semoga bisSa bermanfaat untok anda para kaula muda mudi yan g haus akan pengetahuan.
0 Response to " MAKALAH SEPUTAR KORELASI ANTARA (HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM BIH)"
Post a Comment