Makalah Pengertian Amm dan Khas? Arti Ushul Fiqih? Arti Amm, Khas, Mutlaq, Muqayyad? Bentuk Lafazh ‘amm? kaidah dari ‘amm itu ? Macam Amm? Makalah Arti Khas adalah? Macam dari khas? Bentuk Lafazh khas? Hukum dari khas itu? Berhujah amm dan khas?
‘AMM dan KHASS
A. Pengertian ‘Amm
‘Amm adalah lafazh yang menghabiskan atau
mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang “makna umum”, apakah di dalam
bahasa ia mempunyai sighat (bentuk lafadz) khusus untuk menunjukkannya atau
tidak?
Sebagian ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat sigat-sigat tertentu
yang secara hakiki di buat untuk menunjukkan makna umum dan di pergunakan
secara majaz pada selainnya. Untuk
mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah, ijma’iyyah dan ma’nawiyyah.
1. diantara dalil-dalil nassiyah ialah firman allah:...
“ Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya."Allah berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan) “QS. Hud[11]:45-46).
Aspek yang dijadikan dalil
dari ayat ini ialah bahwa nuh menghadap kepada allah dengan permohonan tersebut
karena ia berpegang pada firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu”.
Allah membenarkan apa yang
dikatakan Nuh. Karena itu ia menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa
anaknya itu tidak termasuk keluarga.
2. Di antara dalil-dalil ijma’iyyah ialah ijma (konsensus) sahabat bahwa firman allah:
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”.(an-nur [24]:2
)
3. Di antara dalil-dalil ma’nawiyyah
ialah bahwa makna umum itu
dapat di pahami dari penggunaan lafadz-lafadz tertentu yang menunjukkan
demikian. Andaikata lafadz-lafadz
tersebut tidak di buat untuk makna umum
tentu akan sukar bagi akal memahaminya. Misalnya lafadz-lafadz syarat, istifham
dan mausul.
Firman Allah dalam surat Al- An’am ayat 91:
"Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”. (Al- An’am[6]:91).
a. Contoh ‘Amm
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, Dia merasa susah karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak punya kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka berkata: "Janganlah kamu takut dan jangan (pula) susah. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali isterimu, Dia adalah Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)".
Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas
yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan
memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal
itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya."
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat
lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”
b. Bentuk-bentuk lafadz ‘amm
1) Lafadz‘am mempunyai bentuk (sighah)
tertentu, diantaranya:
LAFADH كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah:
LAFADH كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah:
LAFADH كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
الْمَوْتِ ذَائِقَةُ كُلُّ نَفْسٍ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
2)
Kata jamak (plural) yang disertai
alif dan lam di awalnya. Seperti:
كَامِلَيْنِ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ وَالْوَالِدَاتُ
“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 275).
LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
LAFADH Asma’ al-Mawshul. Seperti ma, al-ladziina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)e. LAFADH Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata لَا جُنَاحَ dalam ayat berikut
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
2.2.4. Macam-macam penggunaan lafazh ‘amm (umum) :
a. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-Amm
al-Baqi ala Ummiyyah),
contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan
pengkhususan.
b. ‘Amm tetapi yang dimaksudkan adalah khusus (al-Amm
al-Murad Bihi al-Khusus).
Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :
.
“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud
adalah khusus, yaitu Jibril.
c. ‘Amm yang mendapat peng-khususan (al-Amm
al-Makhsus)
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng
khususan yaitu bagi yang mampu.
2.2.5. Khass (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khass merupakan kebalikan dari ‘Am, karena ia
tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh
makna lafazh yang umum. Dan mukhassas (yang mengkhususkan) terkadang muttasil
(antara am dan mukhassas tidak dipisah) oleh sesuatu hal,
tetapi juga ada kalanya munfasil, kebalikan dari muttasil.
Muttasil ada lima macam:
1.
Istithna’ (pengecualian)
2.
Menjadi sifat.
3.
Menjadi syarat
4.
Sebagai ghayah (batas sesuatu).
5.
Sebagai badal ba’ad min kull (pengganti
sebagian dari keseluruhan).
Adapun mukhassis
munfasil adalah mukhassis yang terdapat di tempat lain, baik ayat,
hadis, ijma’ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh al-Qur’an ialah QS
al-Baqarah (2): 228 “والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قرؤ." Ayat ini adalah
bersifat umum, mencakup setiap istri yang dicerai, baik dalam keadaan hamil
maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh
ayat ath-Thalaq (65): 4 “وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن” dan QS al-Ahzab
(33): 49 إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة
Beberapa dalil yang ditakhsis oleh hadis
ialah seperti “وأحل الله البيع وحرم الربا” al-Baqarah (2): 175. Ayat ini
ditakhsis oleh jual beli yang fasid (rusak) sebagaimana dalam sejumlah
hadis.
Contoh am yang ditakhsis oleh
ijma’ adalah ayat tentang warisan, seperti “يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ
الأنثين” an-Nisa’ (4): 11. Berdasarkan ijma’, budak tidak mendapat warisan
karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedangkan yang di-takhsis oleh qiyas
adalah ayat zina dalam “الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد مائة جلدة” An-Nur (24):
2. Budak laki-laki di-takhsis-kan dengan cara diqiyaskan kepada budak
perempuan. Pen-takhsisan-nya ditegaskan dalam “فعليهن نصف ما علي
المحصنات من العذاب” an-Nisa’ (4): 25.
2.2.6 Takhsis Sunnah dengan Al-Qur’an
Terkadang
ayat Qur’an mentakhsis, membatasi, keumuman sunnah. Para ulama mengungkapkan
contoh dengan hadits riwayat Abu Waqid Al-Laisi. Ia menjelaskan : Nabi berkata:
“Bagian apa saja yang dipotong dari hewan
ternak hidup maka ia adalah bangkai .
Hadits ini ditakhsis oleh ayat
an-Nahl[16]:80
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)” . (An-Nahl[16]:80).
2.2.7 Sah berhujjah dengan Amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya
Para Ulama berbeda pendapat tentang sah-tidaknya berhujjah dengan lafadh Amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya. Pendapat yang dipilih oleh ahli ilmu menyatakan, sah berhujjah dengan Amm terhadap makna yang termasuk dalam ruang lingkupnya yang di luar kategori yang dikhususkan. Mereka mengajukan argumentasi berupa ijma dan dalil aqli.
Salah satu dalil ijma adalah
bahwa Fatimah r.a menuntut kepada Abu Bakar hak waris dari ayahnya berdasarkan
keumuman,QS an-nisa 4:11.
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”
maka ayat ini ditakhsis
dengan orang kafir dan orang yang membunuh. Namun tidak seorang sahabatpun yang
mengingkari keabsahan hujjah Fatimah, padahal apa yang dilakukan Fatimah ini
cukup jelas dan mashur, karenanya hal demikian dipandang ijma. Oleh karena itu
dalam berhujjah bagi ketidakbolehannya Fatimah akan ahli waris beralih hujjah
sabda Nabi Muhammad SAW:
“Kami para nabi, tidak
mewariskan. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah”
2.2.8. Hukum lafazh ‘amm dan khass:
1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh
yang bersifat khass (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum
secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki
makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat ‘amm (umum) dan
tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh
tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi
semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat
dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan
makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari
cakupan makna yang umum.